Rabu, 08 Oktober 2014

Perempuan Dan Perhiasan Dunia


Reblog dari Catatan Mas Herry Cahyadi, thanks to remind me!! mari kita simak tulisan indah ini sebagai pengingat para Lelaki dan sebagai pembelajaran untuk kita para calon istri dan istri :) 


Seringkali saya cukup jengah membaca beberapa artikel yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan saya merasa hal itu sangat keterlaluan. Laki-laki dan perempuan itu sama, yang membedakan adalah level ketaqwaannya. 

Namun, dalam teorinya, selalu ada penafsiran yang keliru dan cenderung fallacy(sesat pikir). Bisa jadi hal ini berkembang karena pengaruh tradisi lokal yang cukup kuat. Misalnya, kebudayaan di Asia belum tentu sama dengan di Eropa. Di Asia, tradisi bisa jadi jauh lebih kuat ketimbang penerapan agama. Di Indonesia pun satu daerah belum tentu sama dengan daerah lain. Terkadang pengaruh ini tercampur dengan penerapan agama yang parsial.

Sebagai contoh artikel berikut “Pengorbanan Istri Yang Sering Tidak Disadari Suami“ Di dalamnya berisi tujuh poin “pengorbanan” istri terhadap suami. Mengapa saya gunakan tanda petik dua (“), sebab menurut saya apa yang ditulis bukanlah pengorbanan, namun kekeliruan pemahaman. Saya yakin ini kasuistik (hanya dialami oleh penulis atau terlokalisasi di sekitar penulis artikel tersebut). Yang jelas, hati kecil saya berontak dan tidak menerima jika perempuan direndahkan dengan pemahaman keliru. Harus ada yang dikoreksi dari bagaimana cara berpikir sebagian orang mengenai posisi perempuan—terutama ketika dipandang sebagai seorang istri. Berikut komentar saya:

1. “Ketika suami menikah lagi dan perempuan berusaha menerima (karena alasan ekonomi atau agama atau alasan apapun), ia akan duduk sendiri di setiap malam dalam gelap kamar saat suaminya tengah mendekap mesra seorang perempuan lain di ranjang lain. Ia akan (mungkin) menangis karena terluka, tapi demi anak-anak ia akan berusaha menerimanya dengan sabar.”

O please, jangan jadikan seolah perempuan harus menerima itu semua. Perempuan berhak menolak. Bahkan, sebelum pernikahan perempuan punya hak untuk meminta calon suaminya untuk tidak melakukan hal itu. Saya pribadi suka sekali dengan keberanian Ana dalam Ketika Cinta Bertasbih, ketika meminta calon suaminya untuk tidak menikah lagi selagi dia masih hidup. Ana bilang, “Saya tidak mengharamkan poligami. Tapi saya tidak suka. Sama halnya seperti petai. Saya tidak suka petai, tapi bukan berarti saya bisa mengharamkan petai. Saya tidak makan petai.” Menerima laki-laki yang akan melakukan poligami, sedangkan si perempuan tidak suka, lalu “terpaksa” menerimanya, bagi saya, adalah kebodohan. Pastikan calon suamimu tidak akan pernah melakukan itu. Bahkan, terpikirkan pun tidak. Dan, suami terbaik adalah ia yang tidak pernah membiarkan istrinya menangis, apalagi karena suaminya.

2. “Sebagai istri ia siap mengorbankan impian-impianny a demi mengurus suami (yang kadang bersifat kekanak-kanakan  dan minta diurus) dan anak-anak yang bandel.”

Saya cuma mau bilang: lelaki macam apa itu? Tega mengubur impian-impian istri demi mengurusi dirinya? Apalagi jika yang dimaksud “mengurus suami” itu sebagai “melakukan pekerjaan pembantu” (tolong bedakan pekerjaan rumah tangga sebagai istri dengan pekerjaan pembantu rumah tangga). Bagi saya, setiap orang punya hak untuk bermimpi dan mengejar impiannya masing-masing. Pasangan yang baik adalah mereka yang bahu-membahu membantu suami atau istrinya mencapai impiannya. Bukankah seharusnya begitu? Bukankah letak keindahannya di situ? Suami mengurangi beban dan ikut merasakan kepayahan istri dalam mengejar cita-citanya. Begitu pula sang istri kepada suaminya. Sehingga mereka berjaya bersama atau hancur bersama.

3. “Ketika suami mencela masakannya, ia akan bersusah payah belajar masak dari siapapun untuk bisa menghidangkan makanan dengan rasa terbaik pada suami dan anak-anaknya.”

Astaghfirullah! Ketahuilah, sepanjang hidup Rasulullah, beliau tidak pernah sekalipun mencela masakan yang dibuat istrinya. Kalau menggunakan ukuran agama. Pertama, dilarang keras mencela makanan. Kedua, wajib hukumnya berakhlak baik kepada istri (dalam hal apapun). Mencela makanan yang dibuat istri sudah menyalahi kedua syarat akhlak tersebut. Itu baru dua, masih banyak yang lainnya. Jadi, sebelum menyebutkan “kesabaran atau pengorbanan” istri terhadap celaan suaminya, suaminya telah salah duluan. Dan, suami macam apa yang mencela masakan istrinya?

4. “Ia bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jam kerjanya tak berbatas. Ia bangun ketika siapapun di rumah belum bangun, mulai bekerja, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, lalu mengurus suami sebelum pergi kerja, mengurus anak-anak berangkat sekolah, ketika pakaian kering di jemuran ia akan mengangkatnya dan menyetrika dengan rapi.”

Oh stop, please! Istri bukanlah pembantu! Baca lagi Istri bukan pembantu

5. “Kemudian setelah begitu capek mengurus rumah tangga, malam giliran memenuhi ini itu suaminya. Mulianya seorang istri adalah: tukang masak, tukang cuci, cleaning service, babu dan penghibur suaminya digabung jadi satu.”

Na’udzubillah! Ini kesesatan berpikir yang sangat nyata. Di manakah letak kemuliaannya? Bukankah ini bentuk perendahan sejadi-jadinya? Istri jadi seperti babu dan penghibur itu disebut mulia? Astaghfirullah. Saya benar-benar berlindung dari cara pikir seperti ini. Ini kesesatan berpikir yang fatal. Ingin saya rudal rasanya orang yang berpikir seperti ini.

6. “Ketika suaminya menginginkan punya anak 4, 5, 6 atau 9 orang, ia sebagai istri harus siap menderita mengandung anak dan bertarung nyawa melahirkannya.” 

Di poin ini letak semulia-mulianya perempuan. Laki-laki tidak akan pernah bisa mendapatkan kehormatan ini. Mengandung dan melahirkan adalah proses paling menakjubkan di dunia. Tetapi, perlu dicatat, istri pun berhak untuk mengendalikan kelahiran. Suami pun harus tahu diri tentang hal ini.
Inilah mengapa kewajiban mencari nafkah lahir dan bathin adalah sepenuhnya kewajiban suami. Bisa jadi sebagai pengganti—meski tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan mengandung dan melahirkan—kesakitan sang istri. Dan, perlu diketahui pula bahwa dalam mencari nafkah suami pun harus banting tulang.

7. “Meski laki-laki tak paham benar, tapi Allah Maha Mengerti, karena itulah ia memberi reward pada pengorbanan perempuan. Bagi yang meninggal karena melahirkan anak, Tuhan langsung memberinya surga.”

Laki-laki memang tidak akan pernah paham bagaimana rasanya mengandung dan melahirkan seperti poin sebelumnya. Tetapi bukan berarti laki-laki tidak mendapatkan kewajiban pengorbanan yang sama. Dan, ini tidaklah sama dengan menjadikan istri sebagai subordinasi dari laki-laki. Melahirkan adalah sebentuk jihad bagi perempuan.

Tak Habis Pikir
Saya tidak habis pikir mengapa pekerjaan dapur-sumur-kasur itu disematkan sebagai pekerjaan wajib istri. Sehingga mengepel, menyuci, menyetrika, dsb dianggap domain perempuan. Saya meyakini ini adalah produk budaya lokal yang terasimilasi dengan penerapan agama. Ditambah banyak penafsiran terhadap hak dan kewajiban suami-istri yang dipahami parsial, jadilah tradisi subordinasi perempuan terus lestari. Perpaduan antara dominasi laki-laki sebagai budaya lokal dan penafsiran terhadap teks yang terlalu maskulin.
Jika ada perempuan yang menjalani itu semua dengan penuh keikhlasan tanpa tekanan, tradisi budaya, atau pemahaman parsial agama, bagi saya itu bagus sekali. Mungkin banyak alasan yang bisa diberikan. Namun, jika itu semua dilakukan dengan keterpaksaan budaya—tanpa diketahui hakikatnya, maka itulah yang keliru. Lebih keliru jika kesalahan berpikir itu terus dikampanyekan seolah istri-istri akan mulia dengan melakukan pekerjaan pembantu atau seperti poin-poin di atas. Keikhlasan karena kesadaran jauh lebih baik dari keikhlasan karena keterpaksaan.

Jika “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah,” maka lelaki shalih tentu akan menjaga perhiasan itu dengan jiwa raganya, merawatnya dengan teliti dan hati-hati, dan menyimpannya di tempat terbaik. Tidak masuk di akal jika perhiasan itu ia gunakan untuk memukul paku, mengganjal pintu, gantungan baju, atau digunakan untuk pekerjaan kasar, kotor, lagi menggerus keindahan perhiasan tersebut. Bukankah begitu?
Itu yang saya pahami secara sederhana dari perhiasan—dengan makna sesungguhnya. Bagaimana jika “perhiasan” yang dimaksud adalah manusia? Tentu akan jauh istimewa perlakuannya, bukan?”

Dua kali saya membaca artikel diatas dan dua kali pula saya menitikan airmata, saya jadi ingat kalimat ustadz Maulana “Perempuan adalah satu satunya manusia yang rela perutnya dirobek demi kehidupan anak anak suaminya” 

dari blognya mbak rindu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar