Senin, 10 Januari 2011

Balada Lelaki Petang Temaram dan Perempuan Kilau Rembulan


Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap tepian senja yang jatuh, setiap hari, dengan sebuah harapan sederhana : agar senja yang membawa lengket rindunya tadi akan menyapa rembulan yang sebentar lagi akan timbul dan bertahta di rangka langit. Bahwa pada cahaya yang dipantulkannya kembali ke mata sejuk perempuan kilau rembulan yang kerapkali menunggunya di beranda, menanti keajaiban apakah lelaki petang temaram akan turun, menjemputnya bersama lelehan senja menoreh cakrawala.

Sebuah “cara” bertemu yang aneh. Namun, begitulah adanya.

Rindu dan jarak, kerapkali menciptakan keanehan pada mereka berdua. Bahwa rindu pada akhirnya bisa melipat jarak, pada titik terdekat antara mereka. Bahwa jarak tak ubahnya hanya sebuah helaan nafas yang kuat menarik segenap semesta rindu yang terhampar luas dan membuat keduanya larut pada ekstase yang mungkin tak pernah bisa dipahami, kapan mulai dan selesainya. Semuanya begitu lekas dan menyisakan rasa di sudut batin.

Lelaki petang temaram kembali membaca puisi yang ditulisnya:

Kita tak akan pernah bisa menyepuh ulang segala impian

dan kenangan yang meranggas perlahan di ringkih hati

lalu menyemai harap, segalanya akan kembali seperti semula

“Karena apa yang tertinggal,” katamu,”seperti sisa jejak kaki

di bibir pantai yang lenyap terhapus hempasan ombak”

Kita hanya akan bisa bersenandung merepih pilu

Dan membuat segenap angan terbang liar mencabik cakrawala

seraya menyimpan segala asa dan rindu

pada diam,

pada keheningan

pada lagu lama yang kita lantunkan

dan bergema lirih hingga ke sudut sepi sanubari

“Karena apa yang kini ada”, ucapmu lagi,”Adalah tempat dimana

angin segala musim bertiup dan arus semua sungai bermuara yang kerap

membuat kita gamang pada pilihan : meniti samar masa depan ataukah

menggenggam nostalgia dan ikut karam bersamanya”


Bagai gelombang, waktu menggilas apapun tanpa peduli.

Kebahagiaan dan kesedihan sekaligus adalah buihnya. Mengapung-apung pada permukaan laut kehidupan, lalu kemudian lenyap ditelan gelombang waktu lalu berganti dengan buih-buih yang baru.

Betapapun itu, waktu boleh saja terus berubah, sejarah boleh jadi memangsa dirinya sendiri dan cinta, barangkali, hanyalah sepenggal ide keliru dari sebuah peradaban yang kian renta. Tapi tetap saja ada yang tak bisa berubah : atas nama kenangan beserta segala hal yang indah dan pahit yang telah dilalui, selalu saja ada ruang luntuknya. Dimana ia, lelaki petang temaram, melafalkan pelan namanya, sang perempuan kilau rembulan.

Dalam sesak rindu menikam dada. Pada pilu mencabik hati.

Dengan jemari gemetar, ia menekan tombol “SEND” untuk mengirim puisinya pada perempuan kilau rembulan.

Semua ini jadi jawaban terbaik atas segala pertanyaan naif yang kerap timbul dalam hatinya.

****

Menangani kesendirian, bagaimanapun, selalu melelahkan.

Dan perempuan kilau rembulan itu menyadari, pada sepi, pada kesendirian yang meresahkan itu, kerinduannya pada lelaki petang temaram kian menjadi. Menyakitkan. Tapi juga melenakan. Membuat ia selalu berusaha menikmatinya dari detik ke detik dengan ratap tertahan dan harapan yang menggantung sia-sia

Semuanya memang tak sama lagi, gumam perempuan itu dengan bibir bergetar. Takdir untuknya telah ditetapkan, dan ia, tak akan pernah bisa menepis, mengabaikan atau bahkan lari jauh dari kenyataan getir yang cepat atau lambat, suka maupun tidak, kelak akan ia hadapi.

Ia lalu membaca ulang puisi yang baru saja ditulisnya. Matanya mendadak menghangat saat bait demi bait puisi itu ditelusurinya.

Haruskah geliat rindu yang kau simpan

pada getar dawai hati, bening kilau embun dan segaris cahaya pagi

membuatmu mesti berhenti pada sebuah titik yang kau namakan

tepian sebuah perjalanan panjang?

Kegetiran ini, katamu, melelahkan

dan membuatmu

kerap terkulai tanpa daya menggapai asa di lereng langit

yang telah beku dicekam gigil kangen lalu luruh satu-satu

serupa hujan membasahi belantara tak berujung

Memori yang telah kita pahat rapi pada dinding kenangan

adalah rumah tempat kita pulang dan berteduh dari reruntuhan musim,

kisah cinta yang absurd juga wadah atas segala kegagahan kita

untuk tetap bertahan dari bentangan jarak dan waktu

Pada akhirnya, hasrat itu akan kita titipkan bersama pada bentang bianglala

lantas menikmatinya, seraya berucap lirih:

“Jejak itu akan ada disana, dalam keindahan dan kepahitan, dalam kehilangan dan keberadaan,

dalam rindu yang menjelma

menjadi remah-remah berpendar terang yang jatuh sepanjang perjalanan”


Perempuan kilau Rembulan menghela nafas panjang.

Aku toh tak selalu harus berada pada kemungkinan-kemungkinan tak membahagiakan, gumamnya perih.

Bagaimanapun hidup mesti dimaknai sebagai jalinan sinergis dan harmonis antara baik dan buruk, bahagia dan tak bahagia, menang dan kalah. Selalu akan ada kemungkinan mengalami kebahagiaan, juga sebaliknya. Dan kemungkinan yang terjadi — baik itu bahagia maupun tidak — akan menghadirkan serta membukakan pilihan-pilihan kemungkinan baru yang kelak pun akan segera ditentukan . Bila kemudian pilihan itu akan mengantarkannya kepada kemungkinan yang tidak membahagiakan, maka ia tak perlu risau, siapa tahu pada pilihan kemungkinan berikutnya justru hidup bahagia yang akan diraih. Dan memang demikianlah hidup mesti dijalani, juga disyukuri. Barangkali memang, kesedihan ini adalah sebuah jalan berliku menuju kesenangan. Ia akan menikmati proses itu, sebagaimana ia menikmati segala kenangan indah bersama lelaki petang temaram.

Sekali lagi, Perempuan Kilau Rembulan menghela nafas panjang seraya menekan tombol “SEND” untuk membalas email puisi untuk Lelaki Petang Temaram lalu bergumam pelan:

Dia harus pulang pada istrinya, sebagaimana aku harus kembali pada malam yang akan mendekapku erat dalam kehangatan tak bertepi,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar