Minggu, 23 Januari 2011

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Saya mengetahui cerita ini dari sahabat baru saya mbak Dian Tenriangka, karena penasaran saya mencoba mencarinya sendiri dan membaca ceritanya, memang luar biasa bagus... makasih ya mbak. Saya memasukkan di catatanku ini karena juga ingin berbagi dengan sahabat - sahabatku ( dee'09 )

Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah

Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.

…”

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi

pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai

Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan

disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti

mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan

kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di

televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah

menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.

Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan

berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang

tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung

shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang

kacamatanya, lalu…

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya

para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini

perkenankan saya bercerita…

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan

cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,

yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,

mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil

hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah

lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,

melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan

kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Tiga puluh tahun yang lalu …

Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke

atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormat

di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga

aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan

Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit

politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam

suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup

sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga

besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau

kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya

merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan

keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih

merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah

yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini

ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan

tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang

yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap

memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu

mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan

selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,

ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di

dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah

hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan

istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali

saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar

lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau

menolak mentah-mentah.

“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah

habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,

saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh

pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan

kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung

hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan

kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,

sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah

menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta

ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.

Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka

datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami

ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada

keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan

saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan

kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian

serta tutur bahasanya yang halus.

Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya

beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas

yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak

boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan

dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya

nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak

terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku

sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang

cukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan

bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.

Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik

kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak

dilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,

seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak

mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri

sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa

pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu

langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500

ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil

seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak

direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,

bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke

berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?

Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup dari

strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar

adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat

keluarga besar Al Ganzouri.”

Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah

saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat

sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang

jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup

saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan

bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain

menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini

kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan

penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan

beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata

illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui

penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan

putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih

keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah

dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan

ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak

karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya

kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri

penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor

ma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.

Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad

nikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.

Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima

nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita

sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3

sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.

Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata

Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan

kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami

membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu

mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan

segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa

apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang

sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar

ongkos akad nikah di kantor ma’dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis

lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,

tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di

jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada

puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara

campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca

bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa

berdaya dan hidup menjalari sukma kami.

“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.

Maafkan Kanda!”

“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah

berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa

menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.

Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.

Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.

Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda

tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada

mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu

ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita

berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.

Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita

saat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa

optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi

teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan

sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan

dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di

emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam

kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin

kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa

uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50

pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang

murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali

bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya

berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan

perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil

menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi

kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah

untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan

mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika

seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai

mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang

membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan

uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk

3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami

pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah

kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan

satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu

saja… tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap

bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan

melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia

adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia

merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.

Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan

cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan

gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika

percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari

semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling

nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat

Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak

menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan

Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak

memperoleh segala cinta di surga.

Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus

mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada

putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyah

yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah

dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang

berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa

bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai

mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah

membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun

mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita

hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang

bilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,

ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”

Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa

kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil

layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar

menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter

yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu

membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan

mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami

terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil

sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan

mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor

dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala

perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu

juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka

robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu

mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena berani

menentang Tuan Pasha.”

Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itu

pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua

berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu

kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang

berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang

sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja

dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur

kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah

sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup

tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang

skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna

susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.

Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak

kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan

niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil

memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar

menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak

menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan

saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta

beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.

Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun

marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan

segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun

penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak

ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.

Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.

Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan

isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan

hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia

mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.

Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah

SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada

kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam

itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia

tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang

penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &

lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit

Kukatakan kepadanya

Di sana… di atas lautan pasir kita akan berbaring

Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba

Bukan karna ketiadaan kata-kata

Tapi karena kupu-kupu kelelahan

Akan tidur di atas bibir kita

Besok, oh cintaku… besok

Kita akan bangun pagi sekali

Dengan para pelaut dan perahu layar mereka

Dan akan terbang bersama angin

Seperti burung-burung

Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa

dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia

ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program

Magister bersama!

“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saat

paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai

dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak

berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar

Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran

dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar

sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.

Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk

sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita

wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau

ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun

luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan

kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki

hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan

kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami

hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang

kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari

kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam

suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati

dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk

beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,

terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal

atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,

menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,

itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada

saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,

tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya

hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan

yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar

biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa

sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah

wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.

Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan

mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan

senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.

Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambil

tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar

Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami

belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih

hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak

dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami

berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk

pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal

hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali

tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di

Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah

memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembali

mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor

Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,

dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di

London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya

kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di

negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”

Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London.

Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar

Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis

jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru

di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai

direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar

di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia

dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan

duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya

menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan

permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup

bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup

menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt

dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin

sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya

dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,

di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk

di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda

Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan

bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok

perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan

itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda

Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan

segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

( by aaii in article cinta )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar