Di bawah termaram cahaya lilin diatas meja, Di pinggir meja duduk seorang lelaki dan perempuan.
"Aku cinta kamu." Perempuan itu bicara sembari menggoyangkan gelas anggur merah di tangan.
"Aku punya istri," jawab lelaki itu sambil mengelus cincin kawin di jemari manis.
"Aku gak peduli, aku hanya ingin tahu perasaanmu. Cintakah kau padaku?"
Setelah kumpulkan jawaban, lelaki itu mengangkat kepala, beranikan diri menatap perempuan di depannya.
Perempuan muda berusia 25 tahun, punya daya tarik, tentu saja sebuah usia yang cukup menarik.
Kulitnya yang putih kenyal, daya tahan tubuh masih smart, disertai sepasang cahaya terang mata yang bisa bicara.
Benar benar perempuan yang indah.
Dan sangat sayang untuk dilewatkan.
"Kalau kau mencintaiku, aku gak keberatan sebagai kekasihmu." Pada akhirnya perempuan itu tak bisa menahan untuk tak mengungkapkan kalimat satu ini.
"Aku mencintai istriku." Jawab lelaki tersebut teguh pada pendiriannya.
"Kau mencintainya? Apa yang kau cintai darinya? Seusia dia hari ini sudah tak pantas untuk kau ajak pada jamuan makan, atau pada pertemuan kantor, lagian kenapa selama ini aku tak pernah lihat kau mengajanya serta..."
Perempuan itu ingin tetap lanjutkan ucapannya, tapi melihat reaksi lelaki di depannya mulai dingin dia hanya menghela napas kecil. diam.
Hening...
"Apa yang kau suka dariku?" lelaki itu membuka mulut.
"Dewasa, pengertian, penyikapan dan geraknya punya aura kelelakian, bisa memberi perhatian pada orang lain, dan banyak. Lagian, Bila dibanding dengan sebagian lelaki yang pernah ku temui berbeda. Kau lain dari mereka."
"Kamu tahu, bagaimana aku di 3 tahun lalu?" kata lelaki itu sambil menyalakan rokok.
"Gak tahu. Aku gak peduli, meski kau pernah di penjara sekalipun."
"3 tahun lalu, aku adalah mereka yang kau katakan lelaki biasa." Tanpa pedulikan perempuan itu ia lanjutkan pembicaraan.
"Baru lulus sekolah, tanpa pekerjaan yang seperti diidamkan, Tiap hari bergelut dengan dunia alkohol, pemarah. Tak pernah peduli apalagi perhatian pada satu perempuan. Dan karena pernah datang ke sebuah club malam mencari kepuasan diri, pernah ditangkap polisi."
"Lalu...?" Desak perempuan itu penuh rasa penasaran, ingin tahu apa yang membuat lelaki itu berubah.
"Karena dia...?"
"Emm." dia mengangguk.
"Dia... Seolah bisa dengan mudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam hatiku. Ajariku banyak hal, Ajariku jangan terlalu menghitungkan gagal sukses ; Jangan hiraukan apa kata orang ; ajariku bagaimana bersikap, menyikapi hidup. Saat itu aku dimatanya benar-benar seperti lelaki kecil yang tak tahu apa apa. Perasaan itu... Mungkin hampir sama seperti apa yang kamu rasakan padaku. Rasa itu benar-benar aneh, aku yang sering marah tanpa alasan, Hanya mendengar apa saja yang dia ucapkan. Seperti yang dia katakan, menerima dan hadapi kenyataan, bahwa diri ini gak berguna, untuk itu harus mau kerja keras. Dan di akhir tahun, masalah pekerjaan pelan pelan ada kemajuan, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah."
Lelaki itu mengibas ringan abu rokok ke asbak , kemudian melanjutkan perkataannya.
"Saat itu benar-benar masa paling pahit. Dua orang, satu buah ranjang, perabot rumah pun tak seberapa. kamu tahu? setahun setelah menikah, Aku baru bisa membelikannya cincin untuk yang pertama kali, itupun uang tabungan selama 6 bulan. Tentu saja tanpa sepengetahuan dia. Kalau dia tahu pasti tak diperbolehkan."
"Akhir akhir ini, karena asap rokok terlalu banyak membuat tubuh tidak enak. Bila musim dingin tiba, tiap malam jelang tidur dia akan nmemberiku semangkuk sup hangat untuk diminum. Dan aroma itu... hanya dia saja yang bisa menciptakan."
Ingatan lelaki itu melayang bersama puingan kabut isapan rokoknya, sambil menceritakan kenangan-kenangan bersama istrinya, hingga ia tak lagi ingat kapan terakhir kali itu terjadi.
Sementara perempuan itu, tidak juga ingin menggangu lelaki di depannya melanjutkan cerita.
menunggu lelaki sadar akan waktu, kini ttelah lebih jam 10 malam.
"oh ya, sorry, lupa waktu, udah malam rupanya." kata lelaki itu sambil tersenyum.
"sekarang, kamu bisa mengerti kan? aku tak mungkin, dan tak bakalan melakukan sesuatu yang membuat dia terluka."
"Emm... ngerti kok. Kalah untuk seseorang seperti dia hati ini lega." Perempuan itu mengibaskan rambutnya perlahan. dan berkata...
"Dan aku akan lebih hebat dari dia bila aku telah sampai pada seusia dia. Dan aku pasti akan dapati lelaki yang lebih baik, bukan?"
"ups, dah malam deh, sup di rumah pasti sudah dingin, aku antar kamu pulang." lelaki itu berdiri bermaksud mengantar perempuan pulang.
"Nggak ah, aku pulang sendiri ajah." jawab dia sambil mengibas kan tangan pertanda menolak.
"Cepet pulang gih, jangan biarkan dia menunggu terlalu lama."
Lelaki itu tersenyum penuh pemahaman, kemudian membalikkan tubuh berlalu pergi.
"Apakah dia attractive?"
".............Mmmm. dia cantik."
Bayangan lelaki itu hilang ditelan hitamnya malam, meninggalkan perempuan itu seorang diri bersama lilin. Terpaku.
Begitu sampai dirumah, dia membuka pintu, kemudian langsung menuju kamar, dan menyalakan lampu meja.
Terdiam di pinggir ranjang, kemudian duduk.
"Bu, ini adalah yang ke empat kalinya. Kenapa kau ajariku menjadi sebaik ini, hingga membuat banyak perempuan suka padaku. Kalau saja kau tak sebaik ini membimbingku, aku pasti akan berpindah hati. Kenapa kau bimbing aku sedemikian baiknya, sementara kau sendiri pergi tinggalkan aku lebih dulu? Dan aku, Aku seorang diri sangat kesepian."
Lelaki itu berkata dengan nada terpatah patah, tak mirip lagi sebuah ucapan.
Air mata, setetes demi setetes jatuh di pinggir ranjang membasahi figura photo gambar mereka berdua. Di bawah temaram redup sinar lampu meja di pinggir ranjangnya, sambil memeluk pigura photo kuno lelaki itu bercerita , berbisik, seolah seperti anak kecil yang rindu pada belai ibu saja. Lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar