Senin, 10 Januari 2011

Rela Ngutang Demi Tampil Gaya

Aku mendapatnya dari artikel majalah Femina dan aku sangat ingin berbagi dengan sahabat2 cantikku, agar bisa mengelola keuangannya dengan bijaksana tanpa harus terjerat hutang hanya karena ingin diakui. Padahal banyak cara agar bisa di terima dengan orang lain, bersikap tulus dan memberikan senyum yang ikhlas, kebaikan ke mereka, teman-teman pasti dengan sukarela menerima kita, tidak hanya sekedar teman semu aja. Ada uang ada teman, tak ada uang teman menghilang.


Memang menggoda punya tas bermerek atau sepatu rancangan eksklusif desainer, terkadang memang membuat kita tergoda. Selain hati puas, juga muncul rasa pede, karena rasanya semua mata memandang kagum. Atau, bila ingin hangout di tempat-tempat gaul terbaru, rasanya kurang gaya kalau tidak nongkrong di kafe atau resto yang sedang menjadi buah bibir. Setengah sadar, kita pun merogoh kocek lagi hanya demi gengsi sesaat itu. Kalau tidak ada uang kontan, kartu kredit pun beraksi.

Memuaskan diri demi tuntutan gaya hidup masa kini, rasanya memang tidak akan ada habisnya. Berbagai benda fashion, gadget, hingga otomotif, siap menggoda iman semua orang. Bagaimana caranya agar kita tetap bisa tampil gaya dan gaul, tapi tidak perlu tergulung efek bola salju berjudul utang?

YANG TAMPIL GAYA LEBIH DIHARGAI
Sekitar awal tahun ‘90-an, bisa dibilang pusat perbelanjaan eksklusif di Jakarta hanya ada satu, yang terletak tepat di jantung kota Jakarta. Butik-butik yang memajang merek ternama bisa dihitung dengan jari. Tapi, sekarang, mal-mal mewah bertebaran di setiap sudut kota. Tak hanya di Jakarta, melainkan sampai kkota-kota kecil.

Akibatnya, masyarakat kita jadi familiar dengan produk-produk fashion bermerek asing, yang harganya rasanya tidak mungkin terjangkau oleh penghasilan masyarakat kelas menengah kita. Tapi, itu kan teori. Nyatanya, tidak hanya kalangan superkaya yang mampu membelinya. Kalangan menengah pun tidak sedikit yang bisa ikut memilikinya. Jalan yang biasa ditempuh adalah dengan berutang

Tuti Indra Fauziansyah, mengungkapkan, beberapa tahun belakangan ini, yang dibangun oleh pemerintah adalah karakter masyarakat yang materialistis. Menjamurnya pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan, membuat orang jadi konsumtif. Begitu pula perlakuan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

“Para sales promotion girl (SPG), misalnya, hanya akan menawarkan produk mereka kepada orang-orang yang penampilannya keren, dan memandang sepi orang-orang yang penampilannya biasa-biasa saja. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang ingin punya image bagus, agar mereka lebih dihargai,” Tuti menjelaskan.

Kalau kita masuk ke butik mewah dengan dandanan seadanya, bisa jadi pramuniaga akan melemparkan pandangan meremehkan, bahkan penuh curiga. Sebaliknya, kalau kita masuk ke pusat perbelanjaan dengan mengendarai mobil mewah, biasanya petugas parkir akan segera mencarikan tempat parkir yang strategis di dekat pintu masuk. Begitulah, orang kaya atau kalangan elite, sepertinya memang dianggap layak mendapatkan perlakuan istimewa. Tak heran jika orang berlomba-lomba agar bisa masuk kekalangan tersebut, atau –paling tidak-- terlihat demikian.

Dunia kerja pun menuntut penampilan yang gaya, terlebih untuk profesi-profesi yang membuat Anda sering bertemu klien. Lucky Roeshanty (28), sekretaris direktur sebuah perusahaan telekomunikasi, bercerita bahwa penghasilannya sering kali habis untuk belanja pakaian dan aksesori. ”Saya banyak bertemu klien, terutama rekan bisnis pimpinan. Dan, karena bos langsung saya adalah pimpinan tertinggi perusahaan, tentunya saya pun harus menjaga sikap, termasuk menjaga penampilan dengan baik,” ujar wanita yang baru saja menikah ini.

Penampilan oke tentunya juga dituntut di dunia entertainment. Hal ini diakui oleh model dan presenter Duma Riris Silalahi (25). “Barang-barang mahal dan bermerek biasanya saya pakai ketika akan menghadiri pesta atau acara yang saya anggap bisa menjadi ajang membangun jejaring. Penampilan merupakan hal penting untuk membangun kepercayaan klien. Saya harus memberi kesan bahwa saya bisa mewakili sebuah image,” ujar pemenang Wajah Femina 2006, asal Balige, Sumatra Utara ini.

Ungkapan senada juga dilontarkan oleh pengamat gaya hidup, Samuel Mulia, yang sebelumnya dikenal sebagai fashion editor sebuah majalah mode dan gaya hidup. Dulu, saat ia masih menekuni bidang mode, mengikuti tren gaya hidup hukumnya ‘wajib’. Kalau benda fashion tertentu sedang menjadi tren, ia harus memakainya.

“Bagaimana orang akan tahu bahwa saya adalah fashion editor yang bisa dipercaya kalau saya sendiri tidak in-fashion? Saya akui, penghargaan itu memang saya dapatkan lewat penampilan yang trendi, plus benda-benda bermerek. Dengan penampilan seperti itu, saya jadi sering diundang menghadiri launching atau jamuan makan produk fashion ternama. Dan, makin dipuji, belanja saya makin menjadi-jadi, padahal uang saya terbatas. Tanpa sadar, saya sudah masuk dalam jeratan kemewahan itu,” ujar Samuel, mengenang gaya hidupnya dulu.

Ia menambahkan, orang kaya zaman sekarang tidak ragu menyebut dirinya kaya raya. “Sedangkan dulu, orang enggan disebut kaya, karena saat itu belum umum jika sebuah media mengekspos harta seseorang. Kini, ada orang yang minta ditampilkan di majalah sampai 6 halaman, agar bisa memamerkan isi lemarinya.”

Tergiur melihat pameran kemewahan itu, ujarnya lagi, tak sedikit orang yang –meski bukan berasal dari golongan itu-- akhirnya berusaha meniru-niru, bahkan memaksakan diri, agar bisa dianggap sejajar dengan kalangan atas itu. “Kalau uangnya tak cukup, mereka tidak pernah kehabisan akal. Mereka bisa menyewa barang bermerek dengan tarif jam-jaman, atau membeli produk second hand. Tujuannya hanya satu, agar mereka diakui dan dihargai.”

Memang ada orang-orang tertentu yang merasa hidupnya baru berarti bila bisa memiliki barang-barang mahal. Bahkan, di kalangan tertentu, selain berteman, mereka juga saling bersaing, terutama dalam hal kepemilikan barang-barang branded. Misalnya, mereka tidak mau membeli barang di pameran, karena tidak mau barangnya sama dengan orang lain. Akibatnya, memiliki produk eksklusif menjadi semacam pengakuan jati diri.

Selain itu, ada juga orang yang merasa harus tampil dengan barang bermerek, karena lingkungan membawanya pada kebiasaan itu. Contohnya Alice Florentia (25), seorang pekerja kreatif. ”Saya tidak pernah mati gaya untuk urusan barang bermerek, karena bisa meminjam dari orang-orang terdekat. Bahkan, sering kali, karena terlalu lama meminjam, barang-barang tersebut akhirnya diberikan kepada saya,” kata Alice, tertawa.

Tuti mengamati, hal yang dialami Alice ini bisa dipahami, karena lingkungan tempat ia dibesarkan berlatar belakang orang-orang yang peduli pada penampilan. “Ingin tampil beda dengan baju dan tas mahal, sih, boleh-boleh saja. Tapi, kalau orang sudah tidak menghitung lagi kemampuannya, atau terlalu ingin dihargai lewat penampilan, sehingga perilaku belanjanya tidak rasional lagi, bisa dibilang ia sudah ‘terjerat’ dalam kemewahan,” kata Tuti.

HIDUP DI ATAS UTANG
Kenapa kini orang bisa membeli barang mewah dengan begitu mudah? Salah satu jawabannya adalah berkat si kartu ‘ajaib’ alias kartu kredit. Kemudahan untuk memiliki kartu kredit membuat fungsi kartu plastik itu berubah, dari alat pembayaran sementara menjadi fasilitas untuk berutang.

Di lobi-lobi pusat perbelanjaan, misalnya, bank penerbit kartu kredit rajin menggelar gerai, menawarkan kartu kredit dengan berbagai iming-iming menggoda. Dengan syarat yang relatif ringan, rasanya hampir semua orang kini bisa punya kartu kredit. Bahkan, kartu platinum yang dulu hanya diberikan kepada kalangan tertentu, kini ditawarkan secara bebas.

Data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) menunjukkan, hingga September 2007, peredaran kartu kredit mencapai 8,7 juta kartu, dengan 117 juta transaksi. Meningkat lebih dari 5 juta kartu dibandingkan tahun 2001, yang jumlahnya hanya 3,4 juta. Sayangnya, pertumbuhan ini juga dibarengi dengan meningkatnya daftar hitam pengguna kartu kredit. Tahun 2004 saja, tercatat 1,5 juta pengguna kartu kredit yang menunggak tagihan.

Ligwina Hananto, menjelaskan, yang pantas memiliki kartu kredit sebenarnya adalah mereka yang memiliki dana tunai, sehingga saat pembayaran jatuh tempo, mereka mampu membayar lunas. Ia pun menyatakan, orang kota umumnya hidup dari utang, khususnya utang kartu kredit. Kasus ‘terseram’ yang pernah ia tangani adalah seseorang terlilit utang Rp75 juta dari 11 kartu kredit. Pembayaran minimal, sebesar Rp7,5 juta, tidak bisa dipenuhi.

Utang sampai Rp75 juta, untuk beli apaan, sih? Ternyata uang sebesar itu digunakan untuk mengikuti gaya hidup yang sesungguhnya di luar kemampuannya. Tiap hari ia tarik tunai dan belanja ke supermarket. Pendek kata, ia ingin terlihat seperti berpenghasilan Rp10 juta, padahal penghasilan sesungguhnya hanya Rp2 juta.
Zaman sekarang, apa, sih, yang tidak bisa dimiliki? Asal berani nyicil, barang apa pun bisa dibawa pulang. Belakangan ini bahkan mulai bertaburan tawaran berbagai kredit barang dengan bunga nol persen atau dengan cicilan ringan. Hmm, siapa pula yang tak tergiur? Ya, kalau bukan lewat kredit, rasanya agak mustahil bisa memiliki barang-barang yang selama ini hanya bisa mampir dalam mimpi. Mau menabung dulu, pasti terlalu lama, dan barangnya sudah keburu out of date atau harganya sudah naik. Sayangnya, kita jadi sering lupa mengukur kemampuan, hingga akhirnya terlilit utang.

Wina mengamati, saat ini semua kebutuhan hidup sepertinya bisa diatasi dengan kartu kredit. Mulai dari beli beras, membayar tagih-an listrik, telepon, hingga rekreasi, seperti nonton atau sekadar ngopi di kafe. “Yang menarik, yang masuk golongan ini justru mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Hanya karena ngotot ingin menjalani gaya hidup berkelas, akhirnya malah terlilit utang,” ujar Wina.

Adakah kemungkinan gaya hidup seperti ini disebabkan oleh keadaan psikologis seseorang? Bisa saja, kata Tuti. Dari sisi psikologis, pencetusnya bisa jadi keadaan depresi, sedih, atau kecewa. Keadaan hidup yang sulit seperti sekarang ini membuat orang merasa perlu menghibur diri. Atau, yang biasanya hidup pas-pasan, sesekali ingin juga merasakan gaya hidup mewah. Misalnya, karena pernah ditraktir teman di sebuah restoran mewah, ia lalu berpikir, “Wah, ternyata enak juga, ya, jadi orang kaya.” Eh, akhirnya malah keterusan.

“Hedonisme tidak mengenal batas usia. Namun, yang rentan terhadap perilaku seperti ini adalah mereka yang pribadinya tidak matang. Pendidikan masa kecil juga berpengaruh. Tapi, ketika dewasa, kontrol dirilah yang lebih berpengaruh,” Tuti menjelaskan.

Samuel juga beranggapan, kita sering kali pandai memanipulasi alasan, sehingga kebutuhan untuk memiliki suatu barang menjadi masuk akal. “Pada dasarnya, manusia itu memang ingin menyenangkan diri. Tapi, menjadi bahaya jika sampai tidak bisa mengontrol diri. Sudah tahu kartu kreditnya overlimit, kok, ya, masih juga berutang. Itu berarti kontrol dirinya kurang,” katanya.

Dalam keadaan sulit mengontrol diri, prioritas dalam menggunakan uang pun ikut terpengaruh. Uang yang seharusnya untuk membayar cicilan rumah, malah dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak urgent. Hal seperti ini pernah terjadi pada Andari Purwaningtyas (35), manajer sebuah institusi keuangan. Ia merasa harus selalu mengganti mobilnya dengan model terbaru. Alasannya, mobil lamanya sudah tidak layak pakai. Jarak tempuh dari rumah dan tempat kerja yang terbilang jauh, menuntut kondisi mobil yang lebih baik, begitulah selalu dalihnya.

Akibatnya, ia harus rela menyicil mobil Rp3,5 juta per bulan. Sementara, utang dari 3 kartu kreditnya harus dibayar minimum Rp1 juta per bulan. Dengan total penghasilan bersama suami sebesar Rp10 juta, Andari mengaku selalu tekor. Sebab, ia masih harus membagi sisa gajinya untuk biaya sekolah anak, membeli susu untuk balitanya, serta menggaji pengasuh dan pembantu. “Belum lagi untuk bensin, makan siang, dan biaya gaul dengan teman-teman, yang per bulannya bisa lebih dari Rp3 juta,” kata ibu dua anak ini.

Febyana Roosalyn (28), seorang account executive, punya cerita lain. Kebiasaannya berbelanja dan berburu barang sale membuatnya terjebak dalam pola belanja gila-gilaan. Bahkan, ketika mengambil kursus di Australia, uang kiriman orang tua dan penghasilan dari hasil kerja part time, ludes sebelum bulan berakhir. Tagihan kartu kredit hadiah dari ayahnya menggunung hanya dalam tempo sekejap. “Bahkan, ketika sudah bekerja di Jakarta, sering kali di tanggal 20-an hanya tersisa Rp20.000 di dompet saya. Tapi, saya tak pernah kapok berbelanja. Jangankan menabung, gaji bulanan pasti langsung habis untuk membayar utang,” katanya, mengingat masa lalu.

Alice pun demikian. Ia mengaku, pendapatannya tidak besar, sehingga tak jarang ia berutang pada orang tuanya hanya demi memiliki jam dari merek ternama berharga jutaan rupiah. “Saking mahalnya, sampai sekarang pun utang tersebut belum lunas. Untunglah, saya berutang pada ibu sendiri, jadi tidak sampai dikejar-kejar debt collector,” ujarnya, tersenyum jengah.

MELEPASKAN DIRI DARI JERATAN
Sebenarnya, apa, sih, yang kita dapatkan saat memakai barang-barang ‘wah’ itu? Kebanyakan mengatakan, merasa puas dan bahagia. Namun, Tuti menyebut hal itu sebagai kebahagiaan semu.

“Obsesi berbelanja itu bukan timbul karena mereka membutuhkan benda-benda yang mereka beli, melainkan karena ingin dihargai dan diakui. Kalau mereka menyebut itu sebagai rasa bahagia, itu hanyalah kebahagiaan sesaat. Karena, kebahagiaan memiliki makna yang dalam. Bagaimana bisa bahagia, kalau Anda membohongi diri sendiri dan orang lain, serta dikejar-kejar utang?”

Tuti menambahkan, perilaku seperti itu merupakan suatu penyim-pangan kebiasaan. Ada pergeseran kebiasaan yang tidak produktif, yaitu membangun kebiasaan yang tidak ada gunanya, hanya supaya dikagumi orang. “Kalau digali lebih jauh, ada unsur tidak percaya diri, yang menjadi faktor penyebab terjadinya perilaku tersebut. Kalau barang mewah yang melekat di tubuh itu satu per satu dilepaskan, dia merasa tidak nyaman lagi,” Tuti menganalisis.

Lalu, dari mana kita tahu bahwa kita sudah terjerat kemewahan? Jawabannya adalah jika utang kita sudah bertumpuk, sehingga porsi uang untuk membeli barang kebutuhan pokok jadi berantakan. Hidup pun jadi tidak seimbang. Porsi makanan dan vitamin dikurangi, hanya demi memenuhi tuntutan gaya. “Bahkan, mereka yang sudah nekat menarik uang tunai lewat kartu kredit, sudah masuk tahap ‘kanker’ (kantong kering), sehingga harus ‘dikemote-rapi’ habis-habisan,” kata Wina, tersenyum.

Agar lepas dari jeratan itu, hal utama yang perlu dilakukan adalah melepaskan diri dari lingkungan sosial yang membuat Anda jadi berperilaku seperti itu. “Kalau kita memiliki lingkungan yang menganggap tas seharga Rp5 juta itu murah, lama kelamaan kita akan berpikir bahwa harga Rp5 juta itu pantas untuk sebuah tas. Lagi pula, Anda bisa, kok, tampil menarik tanpa harus mengeluarkan dana besar. Yang dibutuhkan hanya skill memadu-padankan busana agar terlihat gaya dan trendi. Kalau yang dicari hanya image, semua itu hanya akan berlangsung sesaat. Pada akhirnya kita akan lebih terkesan pada seseorang yang berkepribadian menyenangkan,” kata Tuti, menjelaskan.

Kunci lainnya adalah mengubah gaya hidup. Buatlah resolusi untuk ‘puasa gaya’ untuk sementara waktu. Misalnya, tidak pergi ke pusat perbelanjaan, tidak belanja baju, dan tidak gaul ke kafe atau makan siang di restoran mahal. Sesekali membeli barang mahal tentu boleh-boleh saja. Tetapi, setiap keinginan harus ada alokasinya, dan jangan melupakan dana untuk tujuan penting, seperti dana darurat, pendidikan anak, pensiun, atau membeli rumah.

Membeli mobil atau rumah baru boleh dilakukan bila komposisi tabungan atau investasi sudah terpenuhi, yaitu sebesar 10%-30% dari penghasilan. Cicilan semua utang per bulan maksimal hanya boleh 35% dari penghasilan. “Kalau sudah berinvestasi 10%, boleh saja membayar cicilan rumah 30%. Karena, memiliki rumah termasuk tujuan penting. Tapi, kalau investasinya 10%, sementara cicilan tas bermereknya 20%, ini sudah tidak sehat,” kata Wina.

Berutang dalam bentuk cicilan juga tak dilarang. Namun, idealnya, barang yang pemakaiannya sekejap sebaiknya tidak dicicil, seperti belanja bulanan, baju, atau tas, yang tak bisa diinvestasikan. Dengan kata lain, barang-barang tersebut harus dibayar kontan. Atau, kalau menggunakan kartu kredit, bayar lunas saat jatuh tempo. Begitu juga utang membeli tiket pesawat untuk berlibur. Masa ke Singapura 3 hari, nyicil-nya sampai 12 bulan? Kan nggak lucu.

Ingin punya barang bermerek juga tak dilarang. Tapi, ada baiknya memilih barang dengan bijaksana. Pilihlah barang yang memiliki nilai investasi, misalnya tas. Samuel bercerita, koper yang ia beli sepuluh tahun lalu, kini sudah ada yang menawar belasan juta rupiah, karena harga barunya mencapai puluhan juta.

Ia juga menyarankan agar kita jujur pada diri sendiri, tentang siapa kita sebenarnya. ”Menjadi big spender boleh saja, tetapi tetap harus mengukur kemampuan. Kalau tidak mampu, berarti kita harus mengubah gaya hidup. Sekalipun kita punya banyak uang, kita tetap perlu menyesuaikan gaya hidup. Misalnya, kalau punya uang Rp1 triliun, tapi kita belanja satu tas yang harganya Rp500 juta, tetap saja judulnya terjerat kemewahan,” ungkapnya.

Penulis: Prillia Herawati

[Dari femina 9 / 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar