O, Manusia…
Mentari telah menyapamu sementara engkau dalam pelukan rembulan. Kokok ayam telah mengingatkanmu untuk menyucikan jiwamu, namun engkau terlena dalam buaian bidadari ilusi… yang membuat jiwamu jauh dari Ilahi… Kepada siapakah sebenarnya jiwamu kau peruntukkan? Kepada siapakah sebenarnya ragamu kau persembahkan?
O, Manusia…
Di pohon kehidupan aku bernyanyi, sementara di tanah kenikmatan kau berdiri. Aku peringatkan kau setiap pagi bersama embun yang menari–nari di bawah senyuman sinar mentari, tapi kau menganggap semua itu hanyalah kicauan yang menyejukkan hati dan mencerahkan hari. Bagaimana mungkin harimu cerah, sedangkan hatimu lelah mencari duniawi? Bagaimana mungkin engkau harapkan kebahagiaan dari taman–taman surgawi, sementara cinta-kasihmu terbagi?
O, Manusia…
Aku berteduh sejenak dari terik mentari, mengapakah kau terus bekerja memaksa diri? Aku menyuapi anak–anakku dengan makanan yang kucari dengan paruhku sendiri, mengapakah engkau memberi anak–anakmu dengan rejeki hasil mencuri? Aku membangun sarangku dari pemberian bumi yang kukumpulkan sedikit demi sedikit, hari demi hari, lalu kucari tempat yang damai di dahan pepohonan yang tak berduri. Satu sarang, cukuplah bagiku… asalkan keluargaku masih dapat menikmati udara pagi dan hangatnya sinar mentari. Kini kubertanya padamu, “Mengapa kau bangun pabrik–pabrik, gedung–gedung pencakar langit yang mengganggu ekosistem bumi? Mengapa pula kau dirikan banyak rumah mewah yang akhirnya tak kau tinggali?”
O, Manusia…
Mentari beranjak meninggalkan marcapada, sementara bulan bersiap menjenguk bumi. Anak-anakku telah bersiap–siap untuk tidur dengan sayapku sebagai selimut mereka, dan di sampingku ada pasangan hidupku yang selalu setia bersamaku. Aku heran mengapa kau tak bersama keluargamu… padahal mereka butuh kasih sayangmu, mereka butuh belaian mesra tanganmu, mereka butuh kata-katamu yang menyejukkan hati, mereka butuh bukan hanya banyaknya hartamu, melainkan juga hangatnya hatimu… Tidakkah kau sadari hal ini? Aku mensyukuri semua yang kudapat hari ini, sementara kau mencaci semua yang kau peroleh hari ini. Demi siapakah sebenarnya kau bekerja? Demi apakah sebenarnya kau berusaha?
O, Manusia…
Bulan–bulan sedang berdansa, bintang–bintang sedang menari, galaksi–galaksi sedang bernyanyi. Benar…semesta sedang berpesta. Aku akan mengajak jiwamu terbang mengangkasa sebelum paruhku kaku dan diriku fana. Aku akan mengajak dirimu ke tempat dimana tiada lagi penderitaan, tiada lagi kesengsaraan, tiada lagi kehampaan. Itulah negeri Abadi. Disana yang ada hanyalah kebahagiaan, kenikmatan, serta keabadian. Engkau dengan mudah dapat mencapainya asalkan hatimu tetap terjaga meskipun dirimu tertidur. Tiada kata yang tepat untuk menceritakan kebahagiaan disana pun tiada pena yang dapat untuk melukiskan dan menuliskan segala kejadian disana.
O, Manusia…
Dengarlah, aku akan berdendang untukmu… Kupersembahkan kidung ini khusus untukmu, agar kau selamat dalam menempuh perjalananmu menuju negeri Abadi. Dengarlah, resapilah, dan simpanlah dalam hatimu…, pesanku lagi, bila umurmu panjang, wariskanlah kidungku pada anak cucumu sehingga mereka semua bisa bahagia bersamamu kelak di negeri Abadi.
Dengarlah… aku akan mulai bernyanyi,
“Ribuan orang,
kau kenal,
percuma saja,
kalau kau,
tak kenal,
dirimu sendiri.”
“Ribuan negeri,
kau taklukan,
percuma saja,
kalau kau,
tak taklukkan,
diri sendiri.”
“Ribuan senyum,
kau berikan,
percuma saja,
kalau senyummu,
tak tulus,
dari hati.”
“Ribuan kata,
kau ucapkan,
percuma saja,
kalau terucap,
tidak dari,
hati nurani.”
“Ribuan hari,
kau lewati,
percuma saja,
kalau tidak,
kau cerahkan,
ribuan hati.”
“Ribuan li,
kau tempuh,
percuma saja,
kalau tidak,
kau tempuh,
jalan Abadi.”
“Ribuan buku,
kau baca,
percuma saja,
kalau kau,
tak baca,
ayat Ilahi.”
“Ribuan musik,
membuatmu menangis,
percuma saja,
kalau kau,
terus menertawakan,
musik Surgawi.”
“Ribuan ruang,
kau hiasi,
percuma saja,
kalau tidak,
kau hiasi,
ruang Hati.”
“Ribuan rumah,
kau bangun,
percuma saja,
kalau kau,
tak kunjungi,
rumah Ilahi.”
“Ribuan penyakit,
kau obati,
percuma saja,
kalau kau,
tak obati,
penyakit hati.”
“Ribuan samudera,
kau arungi,
percuma saja,
kalau tidak,
kau arungi,
samudera Hakiki.”
“Ribuan mutiara,
kau persembahkan,
percuma saja,
kalau tidak,
kau persembahkan,
Cinta Sejati.”
“Ribuan bidadari,
kau cintai,
percuma saja,
kalau tidak,
kau cintai,
Diri Sejati.”
“Ribuan misteri,
kau buka,
percuma saja,
kalau kau,
tak membuka,
Tabir Ilusi.”
“Ribuan tempat,
kau kunjungi,
percuma saja,
kalau kau,
hanya dapat,
nikmat sesaat.”
“Ribuan peristiwa,
kau alami,
percuma saja,
kalau tidak,
kau ambil,
hikmah Hakiki.”
“Ribuan kehidupan,
kau ubah,
percuma saja,
kalau tidak,
dimulai dari,
diri sendiri.”
“Ribuan hal,
kau pahami,
percuma saja,
kalau kau,
tak pahami,
hakikat Diri.”
O, Manusia…
Aku mencintaimu meski kutahu kau tak mencintaiku, karena dari dahulu, diriku tercipta untuk dirimu. Kau awetkan aku dan kubalas dengan tubuhku yang dapat menambah pundi-pundi hartamu. Kau kurung aku dan kubalas dengan kicauan merduku. Kau buru aku dan kubalas dengan bulu-bulu indahku. Kau tembak aku dan kubalas dengan telur yang menyehatkanmu. Kalau aku hanya memikirkan diriku dan keluargaku, maka takkan mungkin aku mau berkorban untukmu. Biarlah aku mati, asalkan kau bahagia… Bagiku, hidup yang sekali ini, biarlah berarti … untukmu … selamanya ….
( dari blog Ahmad Choiron )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar