Minggu, 09 Januari 2011

Rasa Adalah Pilihan

" Kang, kalo punya istri kayak gini mungkin kita di rumah bakal sarungan terus ya? Ndak sempet pake celana" Kata kang Noyo sambil mengangsurkan gambar di sebuah majalah dewasa. Perempuan semlohai dengan tonjolan yang mantap di tempat-tempat yang tepat, kalo istilah saya, mengiurkan

Kata saya, " Mungkin Kang, tapi mungkin juga ndak. Kayaknya sih kalo beneran ini mbak-mbak seksi kawin sama sampeyan, rasanya ya sama saja. Gambarnya menggoda, karena statusnya bukan milik sampeyan.

" Mosok sih?"

Saya bilang ," Mungkin."

Kata simbah saya hidup itu sawang sinawang, masing-masing ngiler dengan yang dimiliki orang lain. Lupa bahwa dengan hukum sawang sinawang itu berarti tiap hal yang dimiliki memiliki potensi untuk membuat orang lain ngiler. Terlalu sibuk menaksir harga yang dipunyai orang lain sampai lupa menghargai yang telah didapat.

Saya bertanya pada seorang kawan saya yang sugih, memiliki beberapa usaha, punya beberapa mobil, "Gimana rasanya hidup sampeyan dengan semua harta yang sampeyan punya? Seneng? Sangat seneng? Atau sangat seneng sekali?"

Tentu dengan menilik kondisi saya yang cuma mengandalkan bayaran dari pabrik, kemana-mana masih nyemplak si kuda hitam, saya mengharap jawaban bahwa dia pasti sangat senang sekali dengan kehidupannya. Tapi ndak begitu jawabannya, kawan saya bilang level kesenangannya biasa saja.

Jawaban sangat senang sekali mungkin baru akan keluar saat saya, yang belum punya beberapa mobil ini ditanya, "Bagaimana seandainya sampeyan memiliki beberapa rumah dan mobil, serta 20 pom bensin?"

Kenapa? Bukan karena rumah, mobil, dan pom bensinnya, tapi karena semua itu masih sebatas saya memandang, belum dalam jangkauan.

Ada kata-kata yang mungkin terdengar klise:

saya tidak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu berusaha menyukai apa yang saya dapatkan

Rasa adalah pilihan. Tergantung bagaimana sampeyan mengatur hati dan kepala. Bersyukur adalah urusan sampeyan dengan Pencipta, ndak usah liat kiri kanan, bandingkan diri sampeyan sendiri.

Konon suatu saat ada seorang petani miskin mengeluh kepada Mbah Kyai, "Mbah, saya ini kok sengsara tenan ya? sudah rumah sempit, anak banyak, mertua numpang. Sumpek bener saya di rumah!"

Kata Mbah Kyai "Besok pergilah ke pasar, belilah ayam 10 ekor, peliharalah"

Besoknya si petani datang lagi, "Waduh Mbah, makin sumpek saya. Sudah rumah penuh masih ketambahan ayam!"

Kata Mbah Kyai, "Sampeyan besok ke pasar, beli kambing 2 ekor, peliharalah."

Beberapa hari kemudian si petani datang lagi, dan disuruh membeli serta memelihara seekor sapi. "Bagaimana kondisi sampeyan? Sudah membaik?"Tanya Mbah Kyai beberapa minggu kemudian.

Si petani yang makin kurus karena stress itu menjawab, "Membaik gimana Mbah?? Rumah saya sudah seperti kebun binatang! Belum lagi kepikiran utang buat beli sapi dan kambingnya!"

Mbah Kyai tersenyum, "Besok sampeyan pergilah ke pasar, jual sapi sampeyan."

Beberapa waktu berlalu, Mbah Kyai ketemu si petani, wajahnya tampak agak lebih berseri, "Sekarang agak lumayan Mbah, rumahnya jadi lebih longgar."

"Kalau begitu besok sampeyan pergilah ke pasar, jual kambing sampeyan." Kata Mbah Kyai.

Selang berapa minggu kemudian setelah ayamnya dijual, Mbah Kyai bertemu dengan si petani, wajahnya segar. "Saran sampeyan memang manjur Mbah, rumah saya sekarang jadi nyaman!"

Kadang menerima apa yang ada membuat pilihan rasa menjadi lebih mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar